JAKARTA - Krisis pangan global menjadi ancaman yang menghantui dunia. Proyeksi Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menunjukkan bahwa dunia perlu meningkatkan produksi pangan hingga 70% pada tahun 2050.
Untuk memenuhi kebutuhan populasi global yang diperkirakan mencapai 9, 7 miliar jiwa. Namun, iklim yang kian tak menentu, lahan yang terus terdegradasi, dan sumber daya yang semakin langka menjadi rintangan yang tak mudah ditaklukkan. Seakan belum cukup, gejolak geopolitik global kian memperkeruh situasi, menciptakan badai yang mengancam ketahanan pangan dunia.
Perang Ukraina-Rusia, misalnya, telah meluluhlantakkan rantai pasokan gandum dan pupuk global.
Sebelum perang dengan Rusia, Ukraina merupakan salah satu dari 5 besar pengekspor gandum dunia, menyuplai sekitar 10?ri pasar gandum global.
Negara-negara di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia, termasuk Indonesia, sangat bergantung pada impor gandum dari Ukraina.
Ukraina juga merupakan produsen dan pengekspor pupuk yang penting, terutama pupuk nitrogen dan fosfor yang sangat berguna untuk meningkatkan hasil pertanian. Eropa, yang ekonominya salah satunya bergantung pada impor kedua komoditas tersebut kini dihadapkan pada lonjakan harga pangan dan ketidakstabilan ekonomi.
Baca juga:
Tony Rosyid: Siapa Pasangan Ideal Anies?
|
Dampaknya merembet jauh hingga ke benua Afrika, di mana banyak negara mengalami krisis pangan akibat terputusnya pasokan gandum.
Sementara itu, di Timur Tengah, ketergantungan pada impor pangan dan situasi politik yang volatile menciptakan kerentanan tersendiri. Bahkan Inggris, pasca-Brexit, merasakan gangguan rantai pasokan yang berujung pada kelangkaan sejumlah komoditas pangan.
Kondisi geopolitik yang tidak stabil bak pedang bermata dua. Di satu sisi, konflik dan sanksi ekonomi menghambat distribusi pangan, meningkatkan biaya transportasi, dan memicu kelangkaan.
Di sisi lain, ketidakpastian global memicu spekulasi dan penimbunan, yang pada gilirannya mendorong harga pangan melonjak tak terkendali.
Inflasi meningkat, daya beli masyarakat tergerus, dan pertumbuhan ekonomi pun terancam, Salah satu contoh nyata dampak gejolak geopolitik terhadap krisis pangan adalah yang terjadi di Inggris.
Negara yang pernah menjadi pusat kekuasaan dunia itu kini bergulat dengan berbagai krisis yang mengancam ketahanan pangan warganya.
Data dari Office for National Statistics (ONS) menunjukkan bahwa inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Inggris mencapai 10, 1% pada September 2023. Lonjakan harga pangan yang signifikan menyebabkan banyak warga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, Laporan The Guardian menyebutkan bahwa sejumlah gudang makanan di Inggris mengalami peningkatan permintaan bantuan pangan yang signifikan dikarenakan krisis ini.
Survei National Institute of Economic and Social Research (NIESR) mengungkapkan bahwa hampir sepertiga rumah tangga di Inggris kesulitan membayar tagihan energi dan pangan pada awal tahun 2023. Banyak warga terpaksa memilih antara "makan atau panas", mengurangi konsumsi pangan demi mampu membayar tagihan energi yang melonjak.
Di tengah situasi yang genting ini, teknologi digital muncul sebagai secercah harapan. Revolusi digital di sektor pertanian, atau yang sering disebut Pertanian 4.0, menawarkan solusi inovatif untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan.
Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), Internet of Things (IoT), big data, dan cloud computing menjadi pilar utama dalam membangun sistem pertanian modern yang tangguh dan berkelanjutan.
Laporan "McKinsey Technology Trends Outlook 2024" dan publikasi dari Wordline berjudul "Digital Trends 2025" memberikan gambaran komprehensif tentang perkembangan teknologi yang paling signifikan saat ini dan proyeksinya di masa depan.
Dalam konteks pertanian, laporan dan infografis tersebut menyoroti bagaimana AI dan teknologi digital lainnya dapat berkontribusi secara substansial dalam menghadapi tantangan krisis pangan yang semakin mendesak.***
Oleh : M Al Husaini*
_Pakar Digital dan Transformasi AI sektor publik_